Akhir-akhir ini, kabar hoax alias palsu bertebaran di media sosial. Mulai dari soal agama, astronomi, hingga masalah politik. Di Indonesia, hoax paling kental adalah soal politik yang berkelindan dengan agama. Fenomena itu ternyata bukan hal baru.
Menurut Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), produksi kabar hoax di Indonesia mulai marak sejak pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Dua tahun kemudian makin meningkat saat pemilihan presiden. Hingga kini, jelang Pilkada Serentak 2017, khususnya pemilihan Gubernur DKI Jakarta. (Katadata, 15/12/2016)
Sebenarnya ini bukan fenomena baru. Pada 1971 pernah beredar desas-desus yang menggegerkan Indonesia. Cut Zahara Fonna, perempuan yang tengah hamil enam bulan mengaku mengandung bayi ajaib. Bila orang menempelkan telinga ke perutnya, si bayi bisa mengumandangkan azan dan ayat-ayat Al Quran.
Khalayak ramai terkesima dengan keajaiban tersebut. Mereka rela antre untuk menempelkan telinganya ke perut si ibu demi mendengarkan suara sang janin. "Berita" sensasional itu pun menyebar dan dimuat media massa.
Menurut sejarawan Anhar Gonggong, bahkan ulama seperti Buya Hamka--pendiri Majelis Ulama Indonesia (MUI)--saat itu berpendapat janin dalam perut bisa mengaji merupakan bukti kekuasaan Tuhan. Meski menurut Anhar, Buya Hamka sebenarnya tak percaya.
"Dia cuma memberi reaksi saat ditanya wartawan dengan menyatakan kalau Tuhan menghendaki memang bisa terjadi," kata Anhar kepada Detikcom (2/6/2008).
"Keajaiban" ini sampai ke telinga Wakil Presiden (Wapres) Adam Malik. Adam Malik diyakinkan adiknya bahwa janin bisa mengaji itu memang benar adanya. Wapres ke-3 RI itu lantas mengundang Cut Zahara Fonna datang ke Istana Wapres. Adam Malik menempelkan kupingnya ke perut Cut Zahara demi mendengar "suara" si janin.
Menurut Stanley Adi Prasetyo, kini Ketua Dewan Pers, Adam Malik bahkan menyatakan, boleh jadi sudah ada tujuh keajaiban dunia. "Namun keajaiban dunia yang ke-8 akan lahir di Indonesia, melalui perut Nyonya Cut Zahara Fonna."
Setelah ditelisik, ternyata tak ada ajaibnya sama sekali. Cut Zahara memasukkan tape recorder kecil, di dalam belitan stagen di perutnya. Maklum, tape recorder kecil saat itu masih jadi barang langka.
Kenapa berita-berita hoax ini laris?
Kini, berita palsu semacam ini jamak kita temui. Utamanya, setelah media sosial menjamur. Pembaca sekaligus menjadi loper media, turut menjajakannya di linimasa. Korbannya pun tak pandang bulu, mulai dari awam yang percaya teori bumi datar, hingga Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifuddin, yang terkecoh soal biaya visa haji.
Berita hoax selalu mempunyai ciri utama sensasional. Kabar yang ditulis selalu ajaib dan menakjubkan. Tak jarang pula memancing kemarahan.
Jonah Berger, profesor bidang marketing dari University of Pennsylvania yang mengkhususkan diri pada soal getok tular (word of mouth) dan pengaruh sosial mendeteksi, pilihan konten mempengaruhi cepatnya penyebaran sebuah konten. Berger meneliti empat jenis muatan konten; marah, humor, sedih, dan senang.
Hasilnya ditemukan, konten marah paling cepat menyebar (viral). "Sama halnya saat kita marah, kita lebih mudah berteriak," tulisnya dalam buku bertajuk Contagious. Tak heran, konten-konten yang memancing kemarahan mudah menyebar dari pada konten yang memancing respons lain.
Konten yang memancing kemarahan ini diolah untuk kebutuhan lain. Motif yang paling jelas adalah ekonomi.
MAFINDO mengidentifikasi kini ada sekitar 20 situs penyebar berita palsu yang masih beroperasi. Situs-situs berita palsu itu biasanya dilatari oleh dua jenis kepentingan, yaitu motif meraup uang dan kepentingan politik.
Menurut Saptiaji Eko Nugroho, inisiator MAFINDO seperti dikutip Katadata, dengan kurs Rp13.300 per dolar AS, satu berita hoax nilainya bisa mencapai Rp1,33 juta. Nilainya makin bertambah jika berita itu viral. Dalam setahun, situs-situs seperti itu, penghasilannya bisa mencapai hampir semiliar rupiah dalam setahun.
Satu situs yang sudah ditutup oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, punya 300 ribu kunjungan per hari. Jumlah ini setara dengan membuat kampanye politik.
Faktor lain penyebab kabar palsu mudah menjadi viral adalah urusan psikologis, yang dikenal dengan Dunning-Kruger effect. Dunning-Kruger effect berawal dari kisah McArthur Wheeler pada pertengahan 1980-an. Wheeler, warga Pittsburg, Amerika Serikat, dengan pede merampok tanpa senjata api. Senjata utama andalannya perasan air lemon.
Pria 44 tahun itu punya hipotesis sederhana. Air perasan lemon, bisa digunakan sebagai tinta yang tak terlihat (invisible ink). Jika perasan air lemon dituliskan pada sebuah kertas, maka tulisannya tak terbaca. Tulisan itu baru bisa dibaca kalau didekatkan dengan panas.
Nah, Wheeler melumuri kepalanya dengan perasan air lemon. Dalam benak Wheeler, wajahnya tak akan terlihat, sesuai hipotesis soal air lemon. Sebagai percobaan, ia mengambil swafoto (selfie) dengan kamera Polaroid. Entah kameranya yang sedang rusak, atau sebab lain, hasil foto itu tak menampilkan wajah Wheeler.
Wheeler pun yakin dengan resep dan rencananya. Dia akhirnya merampok bank. Tanpa topeng apalagi penutup kepala. Tak hanya merampok satu bank, tapi dua sekalian. Wheeler berhasil membawa banyak uang. Ia langsung jadi kaya. Tapi hanya sebentar.
Selang beberapa jam usai beraksi, wajahnya sudah nongol di layar kaca, dengan jelas. Alhasil, wajah itu mudah dikenali sebagai McArthur Wheeler. Pada hari yang sama, polisi dengan mudah meringkusnya.
Keajaiban Wheeler ini menarik dua peneliti psikologi sosial dari Cornell University; David Dunning dan Justin Kruger. Keduanya heran, apa yang menyebabkan Wheeler begitu percaya diri merampok bank hanya dengan melumuri wajahnya dengan air lemon. Apa yang membuatnya yakin, padahal tak punya pengetahuan tentang kimiawi?
Hasil penelitian menunjukkan, dalam konteks psikologi, makin minim pengetahuan atau pengalaman seseorang di suatu bidang, justru makin tinggi rasa percaya diri. Bahkan level kepedeannya, melebihi para ahli. Orang-orang menengah, rasa percaya dirinya paling rendah. Para ahli, justru tak sepede orang-orang awam pengetahuan.
Dengan saringan fakta yang lebih longgar, orang-orang awam lebih mudah mempercayai informasi yang mereka terima. Bahkan juga pede membagikannya. Maka jangan heran bila teori bumi datar masih eksis.
Selain itu, ada faktor kemampuan membaca. Sebuah penelitian menyatakan bahwa berhadapan dengan internet butuh kemampuan membaca secara komprehensif. Penelitian di Amerika Serikat yang melibatkan 11 orang anak setingkat SD itu menyatakan, keberhasilan menarik informasi dari internet melalui membaca, butuh kemampuan kompleks.
Misalnya butuh pengetahuan yang diperoleh sebelumnya, mampu menarik kesimpulan dengan argumen yang tepat secara rasional, dan proses membaca yang terkendali. Kemampuan-kemampuan itu, mensyaratkan tingkat literasi yang tinggi. Semakin rendah kemampuan literasi seseorang, semakin sulit membedakan mana yang hoax dan bukan.
Oleh : Muhammad Nur Rochmi
Sumber artikel: beritagar.id
0 Komentar:
Post a Comment
Silahkan tinggalkan pesan, Jangan pake SPAM ya!!! terima kasih !!